Ruang pertemuan Balai Bahasa Sumatera Selatan (Sumsel) sore itu, Kamis (6/8/2015) ramai oleh sejumlah seniman, peneliti dan praktisi budaya lainnya. Mereka menyoal tentang sastra tutur (lisan) di Sumsel yang dinilai Ery Agus Kurnianto, M.Hum, salah satu peneliti muda bidang sastra di Sumsel sedang diambang kepunahan. “Potensi sastra tutur di Sumsel, hasil penelitian kami paling tidak ada 127 jenis. Ini kita ambil dari sejumlah kabupaten dan kota di Sumsel.
Diantaranya Njang Panjang dan Bujang Jelihim yang berkembang di daerah Ogan Komering Ulu, Jelihiman di Ogan Ilir, Senjang di Musi Banyuasin, Geguritan, Betadur dan Tangis Ayam yang tumbuh di Lahat, Nyanyian Panjang dan Bujang Jemaran terdapat di Ogan Komering Ilir, sedangkan di Palembang terdapat dongeng dan denggung.
Tetapi di lapangan diakui Ery sangat kesulitan mencari penutur yang bisa menuturkan dengan baik. “Saya pikir kalau aset ini tidak dilestarikan, sastra di Sumsel akan hilang. Kalau melihat faktanya memang saat ini sastra tutur di Sumsel sudah diambang kepunahan,” ujarnya.
Kegelisahan Panjang
Ungkapan Ery merupakan kegelisahan panjang yang dimata Penyair Anwar Putra (AP) Bayu, bukan kali pertama persoalan ini muncul dalam diskusi sastra. Sebab nayris setiap tahun diskusi sastra tutur berkutat pada persoalan upaya pelestarian yang tidak berujung dari tahun ke tahun. “Sebenarnya kegelisahan terhadap sastra tutur ini bukan kali ini saja, dan bukan hanya balai bahasa saja yang gelisah, tetapi ini merupakan kegelisahan kita semua,” tegas Bayu.
Dialog dengan tema “Kegiatan Mitra Kebahasaan dan Kesastraan” yang berlangsung sekitar 3 jam itu kemudian mengemuka sebuah pertanyaan bagaimana sebaiknya melestarikan sastra tutur itu? Ery kembali menyoal peran lembaga pendidikan di Sumsel. Ery membandingkan muatan lokal di Jawa yang sejak Sekolah Dasar (SD) ada mata ajar Bahasa Daerah. “Di Jawa, sampai sekarang anak-anak masih bisa membaca ejaan jawa ho-no-co-ro-ko, do-to-so-wo-lo-po-dho-jo-yo-nyo-mo-go-bo-tho-ngo. Sementara di Sumsel punya huruf Kaganga. Tapi bagaimana peran lembaga pendidikan untuk mendorong aset seni budaya ini, termasuk sastra tutur dengan muatan lokalnya?” ujar Ery.
Adalah Vebri Al-Lintani, Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) ikut andil dalam perbincangan upaya pelestarian sastra tutur, terutama bagaimana mendorong sekolah agar memasukkan sastra tutur ini dalam muatan lokal. Diakui atau tidak, baik Vebri ketika duduk sebagai Ketua DKP sekarang maupun sebelumnya, gagasan dan desakan pelestarian sastra tutur, bahkan seni daerah lainnya agar manjadi muatan lokal sudah seringkali di usulkan.
Namun faktanya, di mata Vebri seniman posisinya lemah karena sebatas mengusulkan. “Seniman tidak punya otoritas kebijakan, sebab yang punya otortitas dalam hal ini Dinas Pendidikan Nasional. Jadi untuk hal ini kita memang harus bersinergi dengan Diknas. Melalui DKP, ke depan kita akan kembali desak agar upaya pelestarian sastra tutur ini bisa menjadi bagian kurikulum di sekolah,” ujar Vebri.
Niat baik boleh saja terlontar dari forum ini, tetapi praktisi pendidikan berkata lain. Dalam sebuah perbicangan informal dengan sejumlah guru, muatan lokal apapun materinya, dinilai mereka akan memberatkan siswa. Sebab selama ini, jauh sebelum ada muatan lokal siswa sudah berat menanggung beban pelajaran di sekolah. Fakta ini yang seringkali menjadi alasan sejumlah guru merasa keberatan, mengapa muatan lokal, baik materi seni budaya, materi pendidikan anti korupsi, kesadaran lingkungan, antisipasi bencana selalu tersantuk oleh kebijakan di sekolah sendiri, termasuk upaya pelestarian sastra tutur.
Sebelumnya, Pengamat sastra, Latifah Ratnawati, pernah mengungkapkan hingga kini guru-guru sekolah sudah jarang yang memahami sastra lisan (tutur), seperti pitutur Bujang Jelihim dari daerah Ogan Komering Ilir, pertunjukan cerita Putri Dayang Merindu asal Palembang, dan dongeng Putri Pinang Masak.
“Dari survei yang pernah kami lakukan, hanya 40 persen dari sekitar 100 guru SD di Sumse yang mengetahui nama-nama sastra tradisi itu. Padahal, karya-karya itu telah hidup di masyarakat Sumsel sejak ratusan tahun silam,” katanya.
Jika kekayaan tradisi itu benar-benar punah, masyarakat Sumsel akan kehilangan akar budaya yang membentuk karakternya. Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tutur dapat digunakan untuk menularkan kearifan lokal kepada generasi muda.
Macan kertas
Gagasan, ide dan desakan seniman yang kemudian menghasilkan sebuah rekomendasi dari setiap seminar dan diskusi, pada kenyataannya menjadi macan kertas, apalagi menyoal mulok yang berbau seni budaya daerah. Ahmad Bastari, salah satu praktisi seni di Sumsel yang didaulat menjadi pembicara dalam forum itu turut miris melihat realitas kesenian daerah, terutama di sekolah.
Bagaimana tidak miris bila seniman senior di Palembang ini melihat kenyataan di sejumlah sekolah lebih mengdepankan lomba kreasi seni yang cenderung profan (seni impor) ketimbang mengusung tema-tema daerah. “Saya miris ketika di sebuah sekolah akan menggelar lomba goyang Inul,” ujar Bastari yang ditingkahi gelak tawa para peserta diskusi. Ironisnya, peristiwa ini bukan hanya di satu sekolah melainkan di hampir sebagian besar sekolah.
Bastari kemudian mengemukakan komparasi pelestarian warisan budaya di Cina dan Jepang dengan Indonesia. Cina dan Jepang jauh sebelum berkembang seperti sekarang, negara Tirai Bambu dan Negeri Sakura itu secara teknologi banyak belajar dari sejumlah negara yang lebih maju. Tapi di mata Bastari dua negara itu, meski modernisasi dalam bidang teknologi dan budaya berkembang tidak pernah meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal yang dimilikinya.
“Se-modern-modern-nya Jepang, mereka tidak pernah akan meninggalkan pakaian khas mereka: Kimono dan Kipas. Kenapa? Ini adalah warisan nenek moyang Jepang yang wajib mereka lestarikan. Sementara di Indoensia ini tidak begitu. Teknologinya diambil, gaya hidupnya ditiru bahkan cara berpikirnya juga ikut-ikut budaya impor. Nah, disinilah kerusakan mentalitas bangsa kita yang faktanya sudah jauh melenceng dari warisan budaya kita sendiri, apalagi kearifan lokal? Nah inilah yang harus menjadi tanggungjawab kita bersama,” ujarnya.
Berguru dari Metode Iqra
Di ujung pertemuan, muncul juga sampel pelestarian sastra tutur melalui metode Iqra, yang kini dikembangkan oleh Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI). Ide ini sekadar komparasi. Bila metode iqra saja bisa mengakar dari tingkat anak-anak sampai kalangan remaja, mengapa sastra tutur tidak?
Bila mengadopsi metode IQRA, secara nyata Taman Kanak-Kanak/Taman Pendidikan Al-Quran (TK/TPA) yang sejak tahun 80-an digagas H Humam tokoh asal Yogyakarta hingga kini nyaris tidak ada orang yang tidak mengetahui metode Iqra. Sebab proses kaderisasi sangat sistematis.
Metode Iqra hingga kini sangat kuat melekat di setiap masjid. Oleh sebab itu sangat mungkin strategi penguatan kesadaran dan kaderisasi penutur sastra lisan di Sumsel dilakukan sebagaimana metode Iqra, sejak proses sosialisasi sampai pelatihan secara terus menerus sebagaimana proses sosialisasi metode Iqra, daru tingakt kelurahan sampai pusat.
Diketahui, setiap tiga tahun sekali BKPRMI menggelar Festival Anak Shaleh (FASI) yang salah satu mata lombanya adalah Sosio-Drama (teater), yang nota-bene-nya berbasis sastra tutur.
Kemudian jauh sebelum itu, para calon guru TK/TPA juga dikader melalui pelatihan selama satu pekan dari setiap zona. Dari fakta itu, upaya pelestarian ala metode Iqra ini bisa diadopsi dalam konten sastra tutur. Selanjutnya, bilai di BKPRMI ada FASI, sangat mungkin bila ke depan di institusi seni bisa menggelar festival sastra tutur (Fastratur) se- Sumsel.
Respon positif kemudian terlontar dari Aminulatif, SE, M.Pd, Ketua Lembaga Balai Bahasa Sumsel. Upaya pelestarian sastra tutur di mata Aminulatif menjadi tanggungjawab bersama. Maksimalisasi lembaga kesenian, seperti Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) dan DKP merupakan keharusan.
Amin menyebutkan, Balai Bahasa akan selalu membuka ruang bagi sejumlah seniman dan pihak manapun yang akan membantu proses pelestarian nilai-nilai budaya di Sumsel, termsuk didalamnya sastra tutur.
“Pada prinsipnya kita di Balai Bahasa terbuka, apalagi hal ini memang menjadi salah satu tugas kami untuk ikut mendokumentasikan dan melestarikan aset budaya di Sumsel, termasuk gagasan akan digelarnya Festival Sastra Tutur di Sumsel, saya pikir ini harus ditindaklanjuti,” ujarnya.
Punah? Menunggu Waktu
Lima tahun sebelumnya kegelisahan serupa, pernah disampaikan Yudhy Syarofie, ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Sastra DKSS Yudhy Syarofie. Di mata Yudhi, kepunahan sastra tutur di Sumsel hanya tinggal menunggu waktu.
Sastra tutur dinilai Yudhi pada era modern hanya dipentaskan pada pesta adat, saat-saat tertentu, atau pada Festival Sriwijaya setahun sekali. Di luar itu, tak banyak lagi pertunjukan sastra tutur. Padahal, menurut Yudhi, sastra tutur mengandung nilai-nilai filosofis penting dalam kehidupan. Dongeng Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat, misalnya, mengajarkan anak-anak agar menyelesaikan masalah dengan jalan damai dan menghindari tindakan menang sendiri.
“Tapi ironisnya generasi muda sekarang enggan menekuni atau menonton sastra tutur. Pertunjukan pop masih lebih atraktif bagi mereka, seperti pertunjukan dangdut, musik pop, atau organ tunggal. Tayangan di televisi juga lebih diminati,” katanya.
Padahal, sastra tutur merupakan seni mendongeng yang dituturkan di tengah masyarakat Sumsel sejak beratus-ratus tahun lalu. Sastra itu berisi cerita-cerita yang bermuatan nilai-nilai kearifan lokal, diceritakan oleh seorang penutur dengan atau tanpa iringan musik. Pertunjukan dilakukan dengan bahasa Melayu untuk pesta adat, hajatan besar, atau acara lain.
Sastra tutur, yang merupakan kesenian tradisional asli Sumsel, saat ini semakin ditinggalkan masyarakat. Para penutur yang berusia lanjut sudah banyak yang meninggal, sedangkan generasi muda tidak tertarik untuk mengembangkannya. “Jika tidak ada langkah-langkah penyelamatan, kekayaan lokal yang bermuatan nilai-nilai hidup itu akan punah dan tinggal menjadi sejarah,” tegas Yudhy Syarofie kala itu.
TEKS / EDITOR : IMRON SUPRIYADI